Selasa, 20 Mei 2008

Kebangkitan Nasional Milenium II


Oleh : Prof Dr Azyumardi Azra


Hari-hari ini, bangsa Indonesia memperingati 100 tahun atau satu milenium Kebangkitan Nasional 2008. Banyak agenda dan acara untuk memperingati peristiwa bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa Kebangkitan Nasional 1908 merupakan salah satu momentum terpenting dalam kebangkitan bangsa di zaman kolonial Belanda menuju kemerdekaan, yang akhirnya memungkinkan negara-bangsa Indonesia tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara lain.

Dalam sebuah forum pelatihan reguler di Lemhannas pada akhir April lalu, saya mendapat pertanyaan tentang relevansi Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan berbagai tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang. Pertanyaan ini muncul karena berbagai realitas, kondisi, dan tantangan yang dihadapi seolah membuatnya tidak lagi relevan dan kondusif untuk berbicara tentang Kebangkitan Nasional. Apalagi kalau peringatan hari Kebangkitan Nasional 2008 ingin dijadikan momentum untuk Kebangkitan Nasional kedua dalam waktu 100 tahun ke depan.

Sejak tercapainya kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kebangkitan Nasional bersama Sumpah Pemuda 1928 agaknya lebih memiliki makna simbolis daripada hal-hal lain. Ia merupakan simbol penting dari perjalanan bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat. Simbolisme jelas sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik pada hari ini dan di masa depan.

Perjalanan negara-bangsa ini jelas masih jauh daripada selesai. Bahkan, boleh jadi tidak akan pernah selesai. Meminjam kerangka Benedict ROG Anderson tentang imagined communities--komunitas-komunitas yang terbayangkan, negara-bangsa Indonesia tampaknya masih harus bergulat kembali dengan hal-hal yang dasar dalam kehidupan kebangsaan. Jika pada masa Kebangkitan Nasional 1908, imagined communities itu mengambil reka bentuk dasarnya dalam sebuah 'negara-bangsa' Indonesia yang merdeka dan berdaulat, apakah imajinasi kreatif bangsa ini untuk seabad ke depan dalam masa-masa Kebangkitan Nasional menginjak milenium kedua?

Dalam konteks itu, salah satu tantangan berat bangsa di hari kini dan ke depan adalah memperkuat kembali identitas bangsa atau identitas nasional yang mulai bangkit sejak Kebangkitan Nasional 1908. Lalu, menemukan bentuknya pada Sumpah Pemuda 1928 dan mengalami kristalisasi dengan tercapainya kemerdekaan. Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup semangat kebangsaan (nasionalisme) Indonesia; negara-bangsa (nation-state) Indonesia; dasar negara Pancasila; bahasa nasional, bahasa Indonesia; lagu kebangsaan Indonesia Raya; semboyan negara, 'Bhinneka Tunggal Ika'; bendera negara, sang saka merah putih; konstitusi negara, UUD 1945; integrasi Wawasan Nusantara; serta tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas sebagai bagian integral budaya nasional setelah melalui proses tertentu yang bisa disebut sebagai 'mengindonesia'.


'Mengindonesia', seperti dikemukakan Tilaar (2007), menunjukkan proses. Menjadi Indonesia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Sebaliknya, 'mengindonesia' mengisyaratkan adanya suatu tujuan yang ingin dicapai; sesuatu gambaran--atau bahkan impian--yang ingin diwujudkan secara bersama. Dalam kaitan dengan negara-bangsa Indonesia, 'mengindonesia' berarti proses untuk mewujudkan mimpi, imajinasi, dan cita-cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil, makmur, berharkat, dan bermartabat, baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional.

Identitas nasional jelas tidak statis. Proses 'mengindonesia' mendapat tantangan bukan hanya secara eksternal, tetapi juga secara internal. Secara eksternal, arus globalisasi yang terus meningkat dalam berbagai bidang kehidupan; sejak dari ekonomi, politik, sampai budaya; secara signifikan telah mengubah lanskap Indonesia.


Akibatnya, secara internal, terjadi perubahan yang tidak selalu menguntungkan penguatan identitas nasional. Dalam dasawarsa terakhir, kita bisa menyaksikan terjadinya disorientasi dan dislokasi ekonomi, politik, dan sosial-budaya, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Equilibrium belum juga tercapai dengan baik setelah Indonesia mengalami reformasi dan liberalisasi ekonomi dan politik sejak 1998. Euforia politik dan demokrasi dengan berbagai eksesnya terus berlanjut, mengakibatkan menguatnya rasa kecewa dan frustasi di kalangan masyarakat. Rasa terpuruk akibatnya terus bertahan mengancam identitas nasional.


Maka, penting merenungkan apa yang diingatkan Manuel Castles dalam Power of Identity (2004). Menurut dia, ketika negara-bangsa tidak menampilkan identitas yang kuat atau tidak memberi ruang bagi terciptanya koalisi kepentingan sosial yang dapat memberdayakan diri dalam identitas yang direkonstruksi kembali, suatu kekuatan sosial/politik boleh jadi mengambil alih negara. Dan, menjadikan kelompok mereka sebagai ekspresi eksklusif identitas tersebut. Jika ini terjadi, jelas merupakan ancaman serius bagi kelangsungan negara-bangsa Indonesia.


*Republika, Kamis 15 Mei 2008

Tidak ada komentar: